Disusun oleh : Asep Rohimat K
Ternak kerbau adalah sesuatu yang biasa dalam kehidupan masyarakat Kabupaten Lebak saat ini, karena merupakan konsumsi daging favorit dibanding daging sapi serta secara populasi Kabupaten Lebak dijadikan sebagai salah satu sentra nasional ternak kerbau di Indonesia. Untuk mengetahui mengapa di masyarakat Kabupaten Lebak lebih memilih ternak kerbau dibanding sapi, kita harus tahu mengenai sejarah kerbau di Kabupaten Lebak. Mencari sumber sejarah kerbau di Kabupaten Lebak berupa literatur sangat sulit, dalam hal ini penulis tertarik untuk menggali dari karya sastra berjudul Max Havelaar karya Multatuli. Dari potongan cerita tentang kerbau di karya Multatuli, kita bisa melihat kedudukan kerbau pada masyarakat Lebak zaman kolonial secara ekonomi dan budaya.
Mari mulai dengan kerbau pertama ayah saijah, kita perhatikan paragraf berikut :
… Ayah saijah mempunyai seekor kerbau; dengan kerbau itulah ia mengerjakan sawahnya. Ketika kerbau dirampas oleh kepala distrik parangkujang, ia sangat bersedih hati, ia tidak berkata sepatah kata, berhari-hari lamanya. Sebab sebentar lagi tiba musim membajak, dan ia kuatir kalau tidak cepat ia mengerjakan sawah, waktu menyemai pun akan lewat, dan akhirnya tidak ada padi yang akan dipotong untuk disimpan di dalam lumbung di rumah ...
Ternak kerbau dalam hal ini ruminansia besar mempunyai arti ekonomi yaitu (Zainal Abidin, 2002) :
- Penghasil susu (seperti di Sumatera Utara dan Sumatera Barat)
- Ternak potong/penghasil daging
- Tenaga kerja
Dalam Max Havellar kerbau berfungsi sebagi ternak kerja bagi ayah Saijah yaitu untuk membajak sawah dan sebagai konsumsi protein hewani bagi kepala distrik, dan pejabat diatasnya.
Paragraf lain menggambarkan sifat karakter ternak kerbau dan komposisi tubuh kerbau.
… Lalu ayah Saijah mengambil keris pusaka warisan ayahnya. Keris itu tidak begitu bagus, tapi sarungnya beriat perak, dan diujung sarung itu ada pula pelat perak. Dijualnya keris itu kepada seorang Cina yang tinggal di ibukota, dan ia pulang kerumah dengan dua puluh empat gulden; dengan uang itulah ia membeli seekor kerbau lagi.
Saijah, yang waktu itu kira-kira berusia tujuh tahun, segera bersahabat dengan kerbau baru itu. Bukan maksud saya mengatakan bersahabat; sebab sungguh mengharukan jika kita melihat betapa senang kerbau Jawa itu dengan anak kecil, yang menjaga dan memeliharanya. Mengenai rasa senang kerbau nanti akan saya berikan contoh yang bukan khayalan. Binatang yang besar dan kuat itu mengerakan kepalanya yang berat itu ke kanan atau kekiri atau kebawah menurutkan tekanan jari si anak itu, yang dia kenal, dia mengerti, dengan siapa ia besar bersama-sama.
Memang Saijah kecil mempunyai rasa persahabatan yang sangat besar sehingga pendatang baru itu segera merasakannya, dan suara kanak-kanak Saijah yang menggalakkannya itu seolah-olah memberi lebih banyak tenaga kepada pundak yang kukuh dari binatang yang kuat itu, apabila ia membelah tanah liat yang padat, dan meninggalkan bekas bajakan yang dalan dan tajam. Kerbau itu dengan patuh berbalik, bila ia tiba di ujung lading dan tidak seinci pun tanah yang dilangkauinya ketika kembali membajak alur yang baru, yang selalu berhampiran dengan yang sebelumnya, seakan-akan sawah itu tanah kebun yang digaruk gergasi.
….. Tapi kerbau Saijahlah yang paling baik, barangkali juga Karena Saijah pandai menegurnya, lebih pandai dari orang lain, dan kerbau sangat peka terhadap teguran yang baik. …
Saijah sudah Sembilan tahun dan adinda enam tahun, ketika kerbau itu dirampas dari ayah Saijah oleh kepala distrik Parangkujang .…
Karakter atau sifat ternak kerbau digambarkan sebagai hewan ternak yang penurut dan memang cocok untuk hewan pekerja yaitu ukuran tubuhnya yang besar, pundak yang kukuh untuk gandar sehingga kuat menarik bajak di sawah. Tapi karena komposisi tubuh kerbau yang besar,kepala distrik parungkujang merampasnya dengan alasan untuk keperluan bupati sepuh.
…. Maka ayah Saijah yang amat miskin, menjual kepada seorang Cina dua penggait kelambu, -barang pusaka mertuanya,- laku delapan belas gulden; dan dengan uang itu dibelinya seekor kerbau lagi...
Pada zaman kolonilal nilai ekonomi atau harga ternak kerbau di Lebak disamakan dengan barang pusaka yang sangat berharga, yaitu untuk kerbau yang besar seharga 24 gulden sedang yang lebih kecil 18 gulden.
…. Ayah Saijah tidak mau menjawab pertanyaan itu. Karena itu ia kuatir kerbaunya itu telah disembelih, seperti kerbau-kerbau lain yang dirampas oleh kepala distrik dari penduduk.
Dan saijah menangis dan menangis bila ia teringat kerbau kerbau yang malang itu, pergaulannya yang akrab dengannya dua tahun lamanya; dan ia tak dapat makan, lama ia tak dapat makan, sebab kerongkongannya terasa sempit bila ia menelan.
Kerbau yang baru itu mulai mengenal Saijah, dan segera menggantikan kerbau terdahulu dalam hatinya. Terlalu cepat sebenarnya, sebab aduhai, kesan-kesan lilin dalam hati kita begitu mudah hapus digantikan tulisan kemudian …. Betapapun juga, sekalipun kerbau baru itu tidak begitu kuat seperti yang sebelumnya, sekalipun gandar yang lama terlalu lebar untuk pundaknya, tapi binatang yang malang itu patuh seperti yang terdahulu yang sudah disembelih; dan meskipun Saijah tidak dapat lagi membanggakan kekuatan kerbaunya.
Sekali di tengah padang saijah sia-sia menyeru kerbaunya untuk bergerak. Binatang itu berdiri, tanpa bergerak. Binatang itu berdiri, tanpa bergerak. Saijah kesal karena ia membangkang, -tidak biasa binatang itu membangkang demikian, -tidak dapat menahan diri dengan dan mengeluarkna kata-kata menghina.
Tapi saijah tidak bermaksud buruk dengan kata-katanya itu. Tapi ia tidak perlu mengatakannya sebab sia-sia belaka kerbau itu tidak beranjak selangkah pun. Ia menggelengkan kepala seolah-olah hendak melemparkan gandarnya, nafasnya tampak keluar dari hidungnya ia mendengus, gemetar, matanya yang biru penuh ketakutan, dan bibirnya sebelah atas tertarik keatas hingga gusinya kelihatan
- “lari, lari, saijah, teriak adik-adik adinda, lari, ada macan!”
Dan semuanya melepaskan gandar kerbaunya, mereka melompat keatas punggung-punggung kerbau yang lebar itu, dan mencongklang melalui sawah, galangan, menmpuh lumpur, hutan belujar dan alang-alang, melalui lebuh dan padang, dan ketika mereka mendudu masuk kedesa badur, penuh keringat, Saijah tidak ada bersama mereka.
Sebab setelah ia melepas gandar kerbaunya, dan naik keatas punggungnya untuk lari seperti kawan-kawannya, suatu loncatan tiba-tiba membuat ia kehilangan keseimbangan dan jatuh ke tanah. Harimau itu sudah dekat sekali ….
Kerbau Saijah, terbawa oleh kecepatannya sendiri, terlewat beberapa loncatan dari tempat dimana tuannya kecil menunggu maut. Oleh kecepatannya sendiri, bukan dengan kemauannya sendiri binatang itu melewati Saijah, sebab baru saja ia mengalahkan gaya pendorong yang menguasai segala benda, juga sesudah tidak ada lagi sebab musabab yang mendorongnya, diapun berbalik, ia berdiri diatas kakinya yang tumbang, tubuhnya yang tumbang diatas anak itu, melindunginya, dan dengan kepalanya yang bertanduk ia menghadapi macan itu. Binatang itu melompat, … tapi ia melompat untuk penghabisannya kalinya. Kerbau itu meyambutnya dengan tanduknya, ia hanya kehilangan sedikit daging pada lehernya kena cakar oleh macan itu. Macan itu terkapar ditanah dengan perut terbuka, dan Saijah selamat. Memang user-useran kerbau itu membawa untung!..
Dalam beberapa paragraf disimpulkan bahwa begitu besarnya ikatan emosi antara Saijah dan kerbaunya, bahkan bisa dianggap bagian dari keluarga, karena keluarga Saijah tak pernah menyembelih kerbau. Dan dalam penilaian kerbau masih bersifat kuantitatif yaitu kerbau terakhir yang dimiliki saijah mempunyai user-useran yang akan membawa keberuntungan. Keberuntungan yang didapat Saijah terselamatkan dari serangan macan oleh kerbau terkecil yang pernah dimiliki oleh kelurga Saijah. Tapi keberuntungan itu hilang begitu berhadapan dengan kepala distrik parungkujang.
Pustaka :
Terjemahan H.B. Jassin. 2018. Max Havelaar karya Multatuli. Media Pressindo. Yogyakarta
Zainal Abidin. 2002. Penggemukan Sapi Potong. Agromedia Pustaka. Jakarta